Pagi itu, mereka sudah berkumpul di depan rumah kosong itu. Rumah itu tetap sepi seperti sebelumnya. Dengan hati-hati mereka masuk ke dalam rumah itu. Ruang tamu dimana Rossy tertusuk juga masih menyisakan darah yang telah mongering. Mytha, Fandy dan Dony masih teringat dengan kejadian saat Rossy tertusuk kemarin. Tekad mereka yang telah membara membawa mereka masuk ke dalam rahasia rumah itu lebih jauh.
Mytha berhenti pada rak buku dan mengambil album yang tersimpan di sana. Dia membuka-buka kembali album itu. Dan kemudian menyadari bahwa foto-foto yang telah dilepas dari album itu, memiliki bekas yang sangat baru. Apakah pembunuh itu yang mengambilnya? Tapi untuk apa mengambil foto usang itu? Tanyanya dalam hati. Dia terus membuka-buka foto itu dan mengamati setiap potret yang ada di sana. Pada sebuah foto, ada tiga orang anak. Anak laki-laki berumur sekitar 15 tahun sedang asyik mendengarkan musik dari radio yang ada di tangannya, anak perempuan yang berumur sekitar 7 tahun sedang bermain dengan boneka beruangnya, dan seorang anak perempuan lagi yang sedang duduk di dekat kakaknya yang sedang bermain boneka.
“Teman-teman, lihat ini.” Kata Mytha tiba-tiba. Anak ini adalah keturunan terakhir dari keluarga itu yang tidak terbunuh.”
“Anak perempuan ya? Sekarang sudah seumuran dengan kita, kan? Jika dia masih hidup sih.” Kata Dony.
“Tapi sayang. Wajahnya tidak terlalu jelas pada foto ini.” Kata Fandy menyayangkan keadaan foto yang sudah usang itu.
“Nah, sekarang kalian perhatikan foto-foto yang ada di album ini. Hanya ada satu foto yang ada anak bungsu itu. Dan lagi, coba perhatikan bagian album yang fotonya terlepas itu. Bekasnya masih baru. Aku baru menyadarinya setelah aku melihat album ini dengan seksama.” Kata Mytha menjelaskan keteledorannya.
“Apakah pembunuh itu yang mengambil foto itu?” Tanya Dony.
“Itu mungkin saja. Mungkin pembunuh itu benar-benar ingin melenyapkan seluruh anggota keluarga itu.” kata Fandy menambahkan.
“Masih ada yang ingin ku katakan.” Kata Mytha. Nada suaranya mengecil, seakan ingin berbisik.
“Apa itu?” Tanya Fandy penasaran.
“Sejujurnya, aku mulai mencurigai Riko dan teman-temannya. Karena itu, aku sudah menyelidiki Riko dan teman-temannya. Dari penuturan teman-teman sekolahnya, Riko baru 1 tahun pindah ke SMA 5. Christ dan Zhee mulai menjadi akrab dengannya ketika Riko membuat klub misteri di sekolah itu. Anehnya, klub yang mereka dirikan itu hanya terdiri dari mereka bertiga dan mereka tidak mau menerima anggota lainnya.” Cerita Mytha.
“Kamu tidak boleh mencurigai orang lain tanpa bukti yang kuat seperti itu, Mytha!” kata Fandy. “Bukankah itu yang kamu katakan?” Sambungnya.
“Aku tahu. Dan aku juga tahu Dony menyembunyikan BONEKA KUMA itu.” katanya tajam ke arah Dony.
“Apa?!!” Fandy terkejut mendengar perkataan Mytha dan langsung menoleh ke arah Dony untuk meminta penjelasan. Dony yang di tatap tajam seperti itu hanya nyengir dan mengangguk.
“Tapi kenapa kamu menyembunyikannya?” Tanya Fandy heran.
“Sudah aku katakan, aku tidak bisa mempercayai mereka. Kamu saja yang terlalu gampang percaya pada orang lain, Fandy.” Kata Dony. “Aku melakukan itu karena sejak awal aku sudah mengawasi mereka dan tingkah laku mereka aneh. Saat kita pertama kali bertemu mereka, mereka mengatakan mereka mengira kita adalah pembunuh itu. Dan mereka takut pada pembunuh itu. Tapi, hanya salah satu dari mereka yang mengejar kita.” kata Dony.
Dony berhenti sejenak, kemudian melanjutkan analisanya. “Selain itu, apakah seorang pembunuh akan bersin ketika mengintai mangsanya? Dan berlari ketika ada satu orang mengejarnya? Kita berempat saat itu, bunyi langkah kaki kita dalam kegelapan saat itu pasti terdengar sangat banyak dan tak beraturan dan mereka seharusnya sudah mengetahui bahwa pembunuh itu ada 2 orang, dan tidak lebih dari itu. Mereka klub misteri. Seharusnya mereka tahu akan hal itu.“
“Hebat kamu, Don. Tidak aku sangka kamu menyadari itu sejak pertama kali kita bertemu mereka.” Kata Mytha. Sebetulnya, dia juga ingin mengatakan kecurigaan yang sama seperti yang di katakana Dony.
“Aku mengerti.” Kata Fandy. “Kalian benar. Mungkin aku terlalu mudah untuk percaya pada orang lain. Nah, Dony. Sekarang beri tahu kami di mana kamu menyembunyikan BONEKA KUMA itu.” kata Fandy akhirnya. Dia mengakui, mungkin hanya dialah yang paling mudah ditipu di kelompok mereka.
Dony berjalan menuju ke ruangan yang lebih dalam, ruang keluarga di rumah itu, diikuti oleh kedua temannya. Dia kemudian menuju sofa, dan meraba-raba bagian bawah sofa itu. Sesaat kemudian, dia menarik sesuatu dari bawah sofa itu dan menunjukkan pada teman-temannya.
“Nah, inilah BONEKA KUMA yang aku sembunyikan itu.” katanya dengan percaya diri.
“Hm.. Dony, boleh aku berkata sesuatu?” Tanya Mytha.
“Ya? Ada apa?” tanyanya.
“Itu bukan boneka. Tapi itu.. Itu.. Itu seekor binatang aneh berbulu dan kelihatan menjijikkan.” Kata Mytha.
“Apa?!!” seru Dony. Dia langsung menoleh pada benda yang ada di tangannya. “Huwaaaa….. Benda apa itu??” teriaknya dan langsung membuang benda aneh itu. Mytha dan Fandy tertawa melihat tingkah laku Dony.
Benda itu berjalan perlahan dan menjauh dari ketiga remaja itu. Berjalan menggeliat seperti seekor ulat raksasa. “Rumah ini mengerikan. Kamu saja yang mengambil BONEKA KUMA itu, Fandy.” Katanya sambil mendorong Fandy ke dekat sofa itu.
“Dasar penakut kamu, Dony.” Keluh Fandy. “Nah, dimana kamu letakkan BONEKA KUMA itu?”
“Sedikit bergeser ke kanan, Fandy. Yak, tepat di situ.” Katanya.
“Aku dapat.” Kata Fandy.
Mereka kemudian segera memeriksa boneka itu, dan menemukan sobekan kertas kecil di antara sela-sela pita di bawah leher boneka beruang itu. Pada kertas itu, terdapat pesan yang berbunyi, “KALIAN BERHASIL MENEMUKANNYA. INI ADALAH YANG TERAKHIR. BISAKAH KALIAN MENEMUKAN HARTA ITU? YANG TELAH KALIAN LALUI AKAN JADI PETUNJUKNYA”. Dan ada sederet huruf-huruf acak di bawah kalimat itu.
Sekali lagi mereka harus berpikir untuk memecahkan kode-kode itu, di tengah-tengah pengawasan pembunuh berdarah dingin. Kode itu cukup rumit. Sambil memainkan boneka beruang usang itu, Mytha berpikir keras untuk memecahkan kode itu. Dony dan Fandy juga berusaha mengeluarkan kemampuan mereka. Di saat mereka sedang berpikir keras, terdengar beberapa langkah kaki masuk ke dalam rumah itu. Ketiga remaja itu bersiaga. Mytha segera menyembunyikan boneka beruang itu ke dalam tasnya.
Tidak lama kemudian, tiga orang yang sangat mereka kenal masuk ke dalam ruangan itu. Riko, Christ dan Zhee masuk ke ruangan itu dengan santai seolah mereka telah mengetahui bahwa Fandy, Dony dan Mytha memang ada di rumah itu. Fandy, Mytha, dan Dony tetap memasang sikap waspada. Kali ini mereka tidak biasa mempercayai ketiga siswa SMA 5 itu.
“Hei, kenapa kalian waspada seperti itu? Kami kan bukan musuh kalian.” kata Riko berusaha membuat suasana yang bersahabat.
“Kami tidak bisa percaya kalian.” Kata Mytha.
“Kenapa? Kita bersama-sama mencari harta itu kan? Kita teman kan?” kata Christ menambahkan. Dia juga membenci suasana tidak bersahabat itu.
“Riko! Mengakulah. Kamu yang telah menusuk Rossy. Benarkan apa yang aku katakan?” kata Dony langsung menuduh Riko.
“Apa?!! Bagaimana aku bisa melakukannya? Kenapa aku harus menusuk Rossy? Lagipula, bukankah pembunuh itu yang melakukannya? Pembunuh itu tidak mungkin ada diantara kita.” Riko berusaha membela diri.
“Kamu adalah pembunuhnya, Riko! Kamu sebenarnya tidak hanya ingin menusuk Rossy. Tapi juga membunuhnya, kan?” kata Dony. “Tapi sayangnya, Rossy tahu niat burukmu itu sehingga dia tidak sampai meninggal.” Katanya lagi.
“Haha.. Lucu. Kenapa aku ingin membunuh Rossy? Aku tidak punya motif.” Kata Riko lagi.
“Kamu punya motif. Itu karena Rossy mirip dengan anak bungsu keluarga ini yang gagal kamu bunuh 15 tahun yang lalu.” Fandy yang diam, mulai angkat bicara.
“Kak Riko masih berumur 18 tahun. Bagaimana mungkin dia menjadi pembunuh keluarga yang ada di rumah ini 15 tahun yang lalu? Kalian akan mengatakan bahwa Kak Riko yang masih bayi bisa membunuh?” Kata Zhee turut membela Riko.
“Tenanglah, Zhee.” Riko menenangkan Zhee yang emosinya sudah mulai membara. “Baiklah. Jika seperti itu, bagaimana caraku menusuk Rossy? Kami masing-masing sibuk mencari BONEKA KUMA itu. Dan saat itu, Zhee juga bersama kami.” Kata Riko terus membela diri.
“Kamu mendatangi Rossy, dan langsung menusuknya. Kamu sudah memperkirakan Rossy akan berteriak sekeras itu, sehingga kamu membuat trik dengan tempatmu berdiri dan tempat Rossy berdiri.” Dony berhenti sejenak. “Zhee, apakah kamu melihat seseorang keluar atau masuk ke ruang tamu itu? Dan apakah Riko ada di tempatnya?” Tanya Dony.
“Tidak. Aku tidak melihatnya. Tapi aku yakin melihat Kak Riko masih mencari boneka itu di rak lemari.” Katanya.
“Saat itu rumah ini telah gelap. Sangat sulit melihat dalam kegelapan itu. Jadi, kamu menggantungkan sentermu dengan tali tipis. Senter yang tergantung itu akan bergerak-gerak sehingga terlihat seperti kamu sedang sibuk mencari boneka itu. Dan untuk mendekati Rossy, kamu menggunakan senter yang digunakan Rossy sebagai petunjuk tujuanmu. Itulah sebabnya kamu tidak bisa mengenai organ vital Rossy karena Rossy bergerak-gerak. Setelah menusuk Rossy, kamu segera kembali mengambil sentermu dan bergegas kembali ke arah teriakan Rossy bersama dengan yang lainnya.” Jelas Dony.
“Alasan kenapa kamu bisa terlihat seperti berumur 18 tahun adalah karena kamu menggunakan uang hasil curianmu untuk operasi plastik.” Sambung Fandy.
“Benarkah itu, kak?” Tanya Zhee.
Riko tidak menjawab pertanyaan itu. “Kak Riko, benarkah yang mereka katakan?” desak Christ.
“Hahaha.. Kalian payah. Apa buktinya aku yang telah menusuk Rossy, dan menyebabkan semua terror itu?” katanya sambil terbahak-bahak.
“Pisau. Pisau yang kamu gunakan untuk menusuk Rossy, kali pasti kamu bawa karena kamu tahu kami akan ke sini hari ini dan akan berusaha menguak kejahatanmu dan mencari harta itu lagi. Luminol pasti bisa mendeteksi adanya bekas darah pada pisau itu. Pisau itu nantinya akan kamu gunakan untuk merebut harta itu dari kami.” Kata Dony lagi. “Apa aku salah?”
“Kalian benar. Harta itu akan menjadi milikku sekarang.” Kata Riko dan langsung mengeluarkan pisau dari tasnya. Namun, Dony yang sudah menduga akan hal itu, segera melompat ke arah Riko dan mengunci gerakannya. Mereka pun akhirnya berhasil mengikat Riko. Zhee dan Christ tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Kakak Riko adalah pembunuh itu?” pikir mereka.
Satu orang dari dua pembunuh keluarga itu telah tertangkap oleh mereka. Mereka pun kembali berpikir keras untuk memecahkan kode terakhir tanpa menghiraukan Riko yang berisik di samping mereka.
“Apa arti kode itu ya?” kata Mytha. “Aku masih tidak mengerti kata-kata ‘YANG TELAH KALIAN LALUI AKAN JADI PETUNJUKNYA’.” katanya lagi.
“Apakah maksudnya kode-kode sebelumnya?” kata Zhee.
“Sepertinya begitu. Apakah kalian ingin bergabung dengan kami untuk memecahkan kode ini Zhee, Christ?” Tanya Dony.
“Kami ikut. Kami tidak mau bergabung dengan pembunuh itu lagi.” Kata Christ sambil menatap tajam ke arah Riko.
“Aku juga. Kami telah ditipu olehnya selama satu tahun.” Tambah Zhee. Riko yang mendapat tatapan tajam itu hanya diam saja. Dia tidak gentar menerima tatapan itu. Dia telah ikut ‘orang itu’ membunuh saat dia masih berumur 15 tahun, pikirnya. Dia akan mendapatkan harta itu untuk ‘orang itu’. Dan dia akan membiarkan anak-anak itu untuk memecahkannya. Setelah itu, barulah dia merebutnya, pikirnya.
“Nah, masalahnya sekarang adalah kode yang mana?” kata Dony meminta pendapat teman-temannya. “Hei, Fan. Bantu kami untuk memecahkannya dong. Dari tadi kamu diam saja.”
Fandy tidak mendengarkan perkataan Dony. Dia sedang asyik mengutak-atik sesuatu. Dony yang kesal karena perkataannya tidak di hiraukan oleh Fandy, berjalan dengan kesal dan langsung mengguncang tubuh Fandy. Fandy yang kaget, mengumpat tindakan Dony.
“Kamu sih, tidak mendengarkanku.” Kata Dony. “Bantu kami memecahkan kode itu dong. Kamu asyik sendiri dari tadi.” Kata Dony kesal.
“Oh, maaf. Aku dari tadi keasyikan. Aku sedang berusaha memecahkan kode itu. Tenang saja. Aku membantu kalian kok.” Katanya.
“Bagaimana, Fan? Apa kamu tahu arti kode itu?” Tanya Mytha.
“Yah, begitulah.” Kata Fandy. “Tapi sepertinya kode itu masih menuntut kita untuk pergi ke suatu tempat.” Jelas Fandy.
“Jelaskan bagaimana kamu memecahkan kode itu.” kata Dony.
“Baiklah. Kode itu sebenarnya mudah. Itu hanyalah sandi Vigenere.” Kata Fandy member petunjuk pada teman-temannya.
“Apa? Bagaimana mungkin?” Tanya Dony tidak percaya.
“Iya. Petunjuknya adalah ‘YANG TELAH KALIAN LALUI AKAN JADI PETUNJUKNYA’. Maksud kalimat itu adalah kode yang sebelumnya, yaitu ‘BONEKA KUMA’. Jika kita masukkan kata itu sebagai keyword nya, maka akan menjadi kalimat ‘APAKAH KALIAN BERHASIL MEMBUKA JENDELA YANG TIDAK BISA TERBUKA ITU? JIKA BELUM, SADARILAH DIMANA LETAK JENDELA ITU. DISANALAH LETAK HARTA-HARTAKU’. Aku masih belum mengerti maksud dari kata-kata itu.” kata Fandy.
Mytha yang mendengar penjelasan Fandy tersenyum. Kemudian, dia menitikkan air matanya. Fandy dan Dony yang melihat itu merasa sangat aneh karena Mytha yang pendiam itu tiba-tiba menangis tanpa sebab.
“Kamu kenapa, Mytha? Kenapa menangis?” Tanya Zhee.
“Tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya terharu ketika tahu arti kode terakhir itu?” katanya sambil tersenyum.
“Jadi kamu tahu arti kode itu? katakan pada kami!” kata Dony tidak sabar.
“Sabarlah, Dony.” Kata Fandy menenangkan. “Biarkan Mytha tenang dulu.” Katanya lagi.
“Arti kode itu sangat dalam.” Kata Mytha memulai penjelasannya. “Maksud dari JENDELA YANG TIDAK BISA TERBUKA itu adalah HATI.” Katanya.
“Apa? Kenapa begitu?” kata Dony, Christ dan Zhee bersamaan.
“Dulu, keluarga yang mendiami rumah ini tidaklah harmonis seperti yang terlihat. Anak-anak mereka tidak pernah bermain bersama-sama. Semuanya melakukan semua hal sendirian. Bermain sendirian, makan sendirian, dan tidak pernah berbicara satu sama lainnya. Lalu suatu hari, sang Ayah membuat sebuah permainan dan mengatakan bahwa permainan itu menuju ke sebuah tempat harta berharga yang tersembunyi miliknya. Dia menyuruh anak-anaknya untuk mencari harta itu dan mengatakan siapa yang menemukannya akan menjadi pewaris kekayaan sang ayah. Namun, sebelum harta itu ditemukan, satu keluarga itu dibunuh.” Kata Mytha. Dia tidak bisa menahan air matanya ketika menceritakan kisah itu. Zhee duduk di sampingnya dan menghiburnya.
Mytha mengambil nafas panjang. Lalu melanjutkan ceritanya. “Tapi sekarang akhirnya aku tahu. Permainan itu hanyalah sebuah permainan. Tidak menunjukkan sekumpulan harta fisik yang gemerlapan. Harta itu memang menunjukkan ‘harta yang paling berharga’ sang ayah, yaitu anak-anaknya. Dan aku mengerti tujuan permainan ini, yaitu untuk membuat anak-anaknya akur dan bersatu.” Kata Mytha lagi.
“Tapi, Mytha. Bagaimana kamu bisa mengetahui cerita yang begitu lengkap seperti itu?” Tanya Fandy penasaran.
“Itu karena aku adalah anak itu. Anak yang tersisa dari keluarga itu. Bu Aminah lah yang selama ini menjaga ku dan merawatku. Beliau juga yang menceritakan kisah tragis keluargaku.” Kata Mytha dalam isakan tangisnya.
“Apa? Kenapa kamu tidak memberitahukan kami?” Tanya Dony.
“Aku baru mengetahuinya semalam, saat aku menceritakan apa yang di alami Rossy pada Ibu.” Kata Mytha. “Aku merasa sangat bersalah pada Rossy. Karena aku, dia menjadi korban dari pembunuh itu!” Kata Mytha sambil menunjuk geram pada Riko.
Riko yang mendengarkan cerita Mytha terbelalak. Dia tidak menduga bahwa Mytha lah anak bungsu keluarga itu, yang gagal mereka bunuh 15 tahun lalu. Tidak mungkin ‘orang itu’ salah, pikirnya. Dia yakin ‘orang itu’ tidak pernah salah. Namun, kali ini mereka juga tidak berhasil membunuh anak bungsu itu dan juga tidak berhasil mendapatkan harta itu.
“Ternyata begitu. Kode-kode itu ternyata hanyalah sebuah permainan di keluarga ini. Kita semua salah menduga. Namun, kita sudah menemukan anak yang telah lama hilang dari keluarga ini.” Kata Dony.
“Iya. Kamu benar Dony.” Kata Fandy. “Mytha, kamu harus sabar ya. Kami selalu ada untuk menghiburmu kok” sambungnya.
Mytha menunjuk Riko lalu berkata, “Sebaiknya kita tanyakan dia. Siapa pembunuh sebenarnya Ayah dan Ibuku.” Katanya tajam.
Riko yang mendengarkan perkataan Mytha hanya diam. Melihat itu, Mytha langsung membentaknya. “katakan padaku siapa yang membunuh Ayah dan Ibuku!!” katanya penuh kemarahan.
Zhee dan Christ menahannya, sedangkan Dony dan Fandy hanya diam. Mereka tahu bagaimana jadinya seorang yang pendiam ketika marah. Terlebih lagi, Mytha pasti sangat kesal karena kematian orang tuanya dan tertusuknya Rossy.
Setelah dibentak beberapa kali oleh Mytha, Zhee dan Christ, akhirnya Riko mau membuka mulutnya. “Pembunuhnya adalah pamanku.” Katanya.
“Sekarang dimana pamanmu itu?” Hardik Mytha.
“Memangnya kamu mau apa jika dia ada?” Tanya Riko seolah tidak peduli.
“Kau!!” teriak Mytha.
“Baiklah. Baiklah. Jangan berisik! Dia sudah tidak ada.” Kata Riko. “Dia sudah lama mati.” Katanya lagi.
“Apa?!!” kata Mytha tidak percaya.
“Kenapa berisik sih. Kalau mau cari dia, cari saja di kuburan sana.” Kata Riko.
“Riko.. Kau!! Berani sekali!!” Hardik Mytha.
“Berhenti Mytha.” Kata Dony menghentikan tindakan Mytha yang ingin memukul Riko. “Biarkan saja dia. Sebentar lagi dia akan masuk penjara karena Fandy telah menelepon polisi.” Katanya. “Namun, sebelum itu..”
BUUAAAKKK…
Dony meninju wajah Riko dengan sekuat tenaga. 2 kali. Belum puas, Dony juga meninju perut Riko. Riko meringis kesakitan. “Rasakan itu keponakan kurang ajar!!! Walaupun kalian sama-sama pembunuh, namun sepertinya kamu lebih busuk daripada pamanmu itu!” Kata Dony kesal. Riko tidak berkata apa-apa, hanya meringis menhan sakit di wajah dan perutnya.
Tidak lama setelah itu, polisi datang dan membawa Riko ke kantor polisi. Polisi yang menangani kasus pembunuhan keluarga Mytha 15 tahun lalu juga turut serta ke rumah kosong itu. Dia berterima kasih pada kelima remaja itu karena telah berhasil menangkap pelaku pembunuhan 15 tahun lalu yang tidak bisa dia tangkap. “Kejahatan tidak akan bertahan selamanya.” begitu katanya.
Setelah polisi-polisi itu pergi, Mytha, Dony, Fandy, Zhee, dan Christ berpisah. Pengalaman menegangkan mereka telah berakhir, menjadi sebuah pengalaman yang sangat menarik dan tidak terlupakan di saat terakhir mereka SMA.
Mytha, Fandy dan Dony tidak langsung pulang ke rumah mereka masing-masing. Mereka pergi menjenguk Rossy yang masih terbaring di rumah sakit. Mytha yang mengingat keadaan Rossy, merasa sangat bersalah dan sedih.
Di rumah sakit, Rossy telah sadar dari keadaan kritisnya. Saat melihat teman-temannya menjenguknya, dia sangat senang, namun juga kesal karena dia tahu dia pasti banyak melewatkan kejadian menarik dan menegangkan. Ketika bertemu Rossy, Mytha langsung meminta maaf dan menangis. Rossy yang bingung, meminta penjelasan pada Fandy dan Dony. Setelah mengerti semuanya, Rossy menyemangati Mytha dan memaafkannya.
“Sudahlah, Mytha. Tidak apa-apa. Ada hikmahnya juga kita mencari harta itu. Kamu jadi tahu siapa ayah dan ibumu sebenarnya.” Kata Rossy. “Kalau soal luka ini, jangan di pikirkan. Aku memang kurang hati-hati, jadinya bisa di tusuk oleh Riko.” Kata Rossy menyemangati sahabatnya itu.
“Ayolah, jangan menangis lagi dong. Mytha kan tegar. Iya kan Fan, Don?” katanya sambil mengedipkan mata.
Dony dan Fandy mengangguk. Mytha juga mengusap air mata di pipinya dan bsekali lagi meminta maaf pada Rossy. “Maaf ya, Rossy.” Katanya.
“Iya. Tidak apa-apa. Lain kali kita pecahkan misteri sama-sama lagi tanpa ada yang terluka lagi ya? Habiskan tahun terakhir dengan misteri!!” kata Rossy semangat.
“Yosh!!” jawab teman-temannya serempak.
Rossy yang ceria berhasil membawa teman-temannya pada keceriaan lagi. “Besok-besok jika kita menemui kasus lagi, aku tidak akan terluka lagi. Aku akan lebih waspada agar tidak melewatkan kejadian yang menarik dan menegangkan lagi. Kalian juga harus menjagaku ya?” katanya.
“Eh, enak saja. Jaga diri masing-masing dong.” Kata Dony disambut tawa oleh mereka semua.
Disisi lain, Riko sepertinya masih kesal pada keempat remaja itu dan menaruh dendam pada mereka. Dia bertekad suatu hari nanti dia akan membalaskan dendamnya itu.
Bagian pertama lihat disini
Bagian kedua lihat disini
MISTERI RUMAH KOSONG DAN JENDELA YANG TIDAK BISA TERBUKA 3
Diposting oleh
yuliarie11
|
Selasa, 10 Januari 2012
0 komentar:
Posting Komentar