MISTERI RUMAH KOSONG DAN JENDELA YANG TIDAK BISA TERBUKA 1

| Selasa, 10 Januari 2012
“Wah, rajin sekali kamu hari ini, Fan. Hahaha..” Dony tiba-tiba telah berdiri di depan Fandy yang sedang asyik membaca buku test IQ nya.
“Iya dong. Rajin itu harus.” Jawab Fandy tanpa menghiraukan candaan Dony. “Don, apa kamu tahu jawaban soal nomor 14 ini? Aku bingung menjawabnya.”
“Coba lihat. Oh, ini. Ini kan gampang. Coba perhatikan awal kalimatnya. Nah, sudah tahu kan jawabannya apa.”
“Oh, begitu ya, Don. Aku kurang teliti. Terimakasih.”
“Wajar saja dia tahu. Kami pernah bahas soal itu bersama-sama.” Sebuah suara terdengar dari arah pintu kelas. Di sana berdiri 2 orang gadis –yang bisa kau tebak adalah gadis-gadis pencinta misteri seperti kami–. Dony hanya cengengesan mendengar kata-kata itu.
“Selamat pagi, Mytha, Rossy.” Fandy menghentikan kegiatan membacanya.
“Selamat pagi.” Jawab keduanya serempak.
“Fan, Don, pagi ini Rossy punya kisah menarik. Mau dengar?”
“Boleh, tentang apa?” Dony duduk di kursi di samping Fandy, yang langsung memasang tampang protes. “Hahaha.. jangan protes. Dengarkan cerita Rossy dulu.”
“Baiklah. Aku kemarin dapat berita dari temanku. Ada sebuah rumah kosong di dekat kos temanku itu, yang katanya angker. Dulunya, di rumah itu terjadi pembunuhan. Semua anggota keluarga yang tinggal di rumah itu di bunuh. Pelakunya belum tertangkap sampai sekarang. Katanya pembunuhnya itu mengincar harta yang di sembunyikan keluarga itu.”
“Jadi, kamu mau mengajak kami untuk menyelidiki kasus pembunuhan itu?” Potong Fandy.
“Siapa yang bilang? Aku cuma ingin megajak kalian uji nyali di sana. Yah, siapa tahu kita bisa menemukan harta itu.” Kata Rossy sambil ketawa.
“Yee.. dasar matre.” Kata Dony. Mereka pun tertawa.
“Jadi, gimana menurut kalian?” sambung Rossy lagi.
“Menarik sih. Aku ikut.” Kata Fandy. “Kamu gimana Don?”
“Kayaknya kalian ikut semua. Aku ikut juga deh.”
“Kita sepakat. Hari sabtu depan kita ke sana, OK?” kata Rossy penuh semangat.
“Yosh!” Jawab Mytha, Fandy dan Dony serempak.
Seperti inilah hari-hari para remaja itu di kelas XII IPA 2. Mytha Hermiyanti yang cuek dan sedikit pendiam, Rossyta Misa yang ceria, Dony Adrian Pratama yang jahil, dan Fandy Putra Galih yang pintar. Mereka bersekolah di salah satu SMA negeri di Kalimantan Tengah dan sekarang memasuki tahun terakhir mereka di SMA. Mereka bersahabat sejak kelas 1 SMA karena mempunyai hobi dan minat yang sama. Tahun terakhir ini tentu saja tak akan disia-sia kan oleh mereka. Mereka akan mencari kesenangan mereka dengan terlibat dalam misteri-misteri. Dan mungkin saja perjalanan mereka kali ini akan menemukan sebuah misteri yang menarik.

#####

Malam itu, mereka pergi ke rumah kosong itu. Rumah itu besar. Dindingnya mulai menghitam oleh lumut-lumut yang menumpang tinggal pada dinding itu. Beberapa kaca jendelanya pecah. Memperlihatkan suasana rumah kosong yang gelap dan mencekam. Pintunya yang besar tertutup rapat. Menandakan tak pernah ada seorang pun yang memasuki rumah itu setelah kejadian tragis beberapa belas tahun yang lalu. Rerumputan tinggi tumbuh subur di taman rumah itu. Pepohonan besar tak terurus melambaikan daunnya yang tertiup angin malam.
“Rumah yang menyeramkan sekaligus menarik. Cocok sekali untuk uji nyali kali ini.” Itulah yang ada dalam pikiran keempat remaja itu.
Mereka pun mulai masuk ke dalam rumah itu dengan berbekal sebuah senter di tangan masing-masing.
“Hmm, Rossy. Boleh aku bertanya sesuatu?” kata Fandy memecah kesunyian ketika mereka mulai memasuki rumah itu.
“iya, boleh. Ada apa?”
“Kenapa sentermu jauh lebih besar dari yang kami bawa?” kata Fandy dengan gaya polosnya. Terlihat bahwa dia sedang berusaha menahan tawanya. Wajah Rossy memerah. “I.. Itu..”
“Sudahlah Fan. Jangan menggoda dia. Kau tahu sendiri kan, Rossy itu penakut. Hahaha..” canda Dony yang langsung mendapat pukulan dari Rossy.
“Sudahlah, kalian. Sebaiknya kalian perhatikan langkah kaki kalian.” Mytha mengingatkan.
Mereka telah memasuki ruang pertama dalam rumah itu. Mungkin itu adalah ruang tamu. Ruangan itu besar. Terdapat 2 buah lemari di dinding ruangan itu. Salah satunya adalah lemari buku. Terlihat beberapa buah buku yang telah usang masih tersimpan di lemari itu. Mytha mendekati rak buku itu dan mengambil salah satunya. Itu adalah sebuah album foto. Terdapat benyak sekali foto di dalam album itu. Namun, ada beberapa foto yang telah di lepaskan dari album itu.
Mytha memperhatikan foto-foto itu sejenak sebelum dikembalikannya album usang berdebu itu. Rossy yang berdiri di sampingnya yang ikut memperhatikan album itu terbatuk- batuk karena debu yang berterbangan menggelitik indra penciumannya yang sensitif. Dony dan Fandy berkeliling ruangan itu untuk melihat-lihat dan memeriksa ruangan itu.
“Apa benar di tempat ini pernah terjadi sebuah pembunuhan yang kejam? Ruangan ini tidak menunjukkan hal itu. Padahal dari yang ku dengar, pembunuhan itu terjadi di ruang tamu rumah ini.” Fandy yang memang cermat, tiba-tiba bergumam.
“Dari yang ku dengar, pembunuh itu membunuh 4 orang anggota keluarga yang tinggal di sini. Tiga di temukan di ruang tamu, dan yang satu orang lagi ditemukan di kamar tidur. Tapi, kamu memang benar, Fandy. Ruangan ini terlalu rapih untuk sebuah tempat pembunuhan. Terlebih lagi, jika benar berita yang ku dengar, motif pembunuh itu adalah harta yang di sembunyikan di rumah ini.” Dony menambahkan argumennya.
“Tapi pembunuhan itu telah terjadi beberapa belas tahun yang lalu. Mungkin saja ada masyarakat sekitar sini yang membersihkan rumah ini. Atau mungkin ada kerabat yang datang membersihkan rumah ini.” Mytha menambahkan argumen teman-temannya yang di rasakannya mustahil.
“Iya. Mytha benar.” Rossy yang sejak tadi diam, mulai bersuara. Mungkin untuk menghilangkan rasa mencekam yang menyelimuti hatinya. Semuanya akhirnya setuju dengan pendapat Mytha. Mereka kemudian mulai memasuki ruangan selanjutnya.
Diluar dugaan, ruangan itu sedikit berantakan. Mereka berempat memutari ruangan itu dengan hati-hati. Ada banyak sampah seperti kapas di lantai rumah itu. dan tak jauh dari sampah-sampah yang mirip kapas itu, tergeletak boneka yang tercabik-cabik. Dan ada banyak jejak kaki di ruangan itu. Mytha dan Rossy bergidik melihat boneka yang tercabik-cabik itu. Selain itu, mereka mulai khawatir dengan jejak-jejak kaki yang ada dilantai itu. Apakah ada orang lain selain mereka di rumah itu? Apa yang dilakukan orang itu? Apa yang mereka cari? Untuk apa mereka mencabik-cabik boneka? Apa tujuan mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk dalam benak remaja-remaja itu.
Tak berapa lama, terdengar bunyi pintu besar di depan rumah itu berdecit. Ada seseorang yang memasuki rumah itu. Sontak para remaja itu mematikan senter mereka. Mereka bergeser merapat ke dinding. Berusaha mencari tempat untuk bersembunyi dalam kegelapan.
Sunyi. tidak terdengar suara langkah ataupun suara orang berbicara. Remaja-remaja itu bertanya-tanya. Siapakah yang membuka pintu besar itu? kenapa begitu sunyi sekarang? Kemana orang-orang itu pergi? Dalam kecemasan dan kekhawatiran, mereka sedikit demi sedikit bisa melihat cahaya kuning dari lilin yang menyusup lewat celah-celah pintu. Mereka menahan napas cemas. Akankah kami ketahuan?
Mereka semakin merapat ke dinding. Bersembunyi di dekat tirai-tirai berdebu, dan lemari-lemari berisi beberapa boneka yang -entah kenapa- masih utuh. Rossy berulang kali menahan diri untuk tidak bersin. Mytha memasang matanya yang tajam. Mengira-ngira kemungkinan terburuk jika mereka ketahuan. Fandy dan Dony juga bersiap-siap untuk menerjang jika mereka memang benar-benar ketahuan. Mereka yakin dengan kekuatan mereka, mereka bisa menahan orang -yang mungkin saja pembunuh itu- dengan kekuatan mereka.
Cahaya lilin itu semakin mendekat. Dan seseorang membuka pintu ruangan itu lebih lebar. Tampaklah 3 orang menggunakan baju hitam-hitam memasuki ruangan itu. Satu orang berjalan di depan dengan memegang sebuah lilin, dan yang lain berjalan mengikuti di belakangnya. Langkah pasti mereka membuat jantung para remaja itu bagai hentakan kaki kuda di ladang pacuan. Mereka terus berdoa agar keberadaan mereka tidak di ketahui.
Orang-orang itu berlalu dengan tenang menuju ruangan berikutnya. Dengan cahaya lilin yang samar, para remaja itu tidak dapat melihat wajah orang-orang itu dengan jelas. Namun, mereka bersyukur karena keberadaan mereka tidak diketahui. Karena rasa penasaran yang tinggi, Fandy dan Dony langsung bergerak dan mulai membuntuti orang-orang misterius itu. Mytha dan Rossy yang ingin mencegahnya, tak bisa berbuat apa-apa dan akhirnya mengikuti Fandy dan Dony walaupun mereka khawatir dan cemas dengan keselamatan mereka.
Orang-orang itu terus berjalan dengan tenang tanpa menyadari bahwa mereka sedang dibuntuti. Mereka memasuki ruangan yang lebih dalam dari rumah itu. Kemudian, mereka menuju ke sebuah lemari. Seseorang yang berdiri paling depan membuka lemari itu, dan mulai masuk ke dalamnya. Mungkin itu adalah suatu jalan rahasia ke suatu tempat, pikir keempat remaja itu. Mereka terus mengamati orang-orang itu dalam kegelapan.
Rossy yang memiliki hidung sensitif, tiba-tiba bersin dan memecah keheningan dalam rumah kosong tak berpenghuni tersebut. Ketiga temannya yang lain menahan napas kaget, dan berubah menjadi sangat khawatir dan cemas.
“Siapa di sana?” sebuah suara berat keluar dari lemari yang mereka amati. Hening. Keempat remaja itu mulai mundur. Menjauh dari lemari itu.
“Periksa siapa itu, dan tangkap orang yang di sana!” Suara berat itu memerintah 2 orang yang lainnya. Mendengar itu, keempat remaja itu langsung berlari ke arah pintu depan rumah itu. Berlari secepatnya dalam kegelapan tanpa suara. Berulang kali mereka tersandung oleh lantai rumah yang sedikit bertingkat. Akhirnya mereka berhasil menemukan pintu itu dalam kegelapan.
Dengan segera mereka membuka pintu besar itu dan berhamburan keluar dari rumah itu. Langkah orang yang mengejar mereka masih terdengar di belakang mereka. Mereka berempat berlari ke belakang sebuah pohon besar yang ada di halaman rumah itu. Mereka bersembunyi dalam kecemasan dan napas terengah-engah setelah berlarian dari dalam rumah. Orang yang mengejar mereka keluar dari rumah itu. Cahaya Bulan yang hanya setengah memancarkan sinarnya yang redup ke arah orang yang mengejar mereka. Sosok itu terlihat tinggi, dan melihat kesana-kemari mencari keempat remaja itu. Namun, dalam cahaya yang redup itu, sepertinya dia tidak bisa menemukan remaja-remaja itu dan kembali masuk menuju teman-temannya.
Remaja-remaja itu menghembuskan nafas lega. “Aku benar-benar takut tadi.” Kata Rossy.
“Itu kan karena kamu bersin tadi. Dasar.” Keluh Dony yang sekarang badannya lemas karena ketegangan dan kecemasan saat mereka bersembunyi.
“Aku ingin memastikan apa yang dilakukan orang-orang itu di sini. Besok siang kita kesini lagi ya?” Mytha bertanya seolah mereka tidak pernah mengalami hal yang membahayakan nyawa mereka seperti tadi.
“Apa??!!” Potong ketiga temannya yang lain. “Apa kalian tidak penasaran? Aku ingin tahu apa yang mereka sembunyikan di dalam rumah ini.” Sambungnya lagi.
“Aku tidak setuju!” kata Rossy.
“Ssssssttt…!!” Fandy tiba-tiba menyuruh teman-temannya diam. “Ada yang keluar.” Katanya berbisik.
Ketiga orang yang mereka lihat tadi keluar dari rumah itu. Mereka berjalan menelusuri jalan kecil di depan rumah itu hingga akhirnya keluar dari pagar dan menghilang dari pandangan. Setelah bebarapa lama ketika ketiga orang itu pergi, remaja-remaja itu keluar dari persembunyian mereka. Mereka memutuskan untuk langsung pulang setelah pengalaman menakutkan malam ini.
Belum berapa lama mereka melewati pagar rumah itu, tiba-tiba muncul seseorang yang menggunakan baju hitam-hitam. Orang yang mengejar mereka tadi. Sontak merka berbalik dan berusaha melarikan diri. Namun, dibelakang mereka telah berdiri dua orang yang lain. Mereka terjebak. Fandy dan Dony memasang ancang-ancang untuk menyerang. Mytha dan Rossy berdekapan di antara mereka. Dalam ketegangan itu, salah seorang dari ketiga orang misterius itu bertanya, “Siapa kalian? Apa yang kalian lakukan di rumah itu? Apa yang kalian cari?”
“Kami tidak berniat untuk menjawab pertanyaan kalian! Kalian sendiri siapa? Dan apa yang kalian sembunyikan dirumah itu?” jawab Dony yang sudah bersiap-siap untuk menyerang.
“Jika di dengar dari caramu bicara, apa kalian murid SMA?” Tanya salah satu dari orang-orang itu. suaranya berat seperti suara seseorang yang memerintah untuk mengejar mereka tadi.
“Kalau iya, memangnya kenapa?” Kali ini giliran Fandy yang menjawab. “Kalian siapa?” Tanya Fandy sekali lagi.
Ketiga orang itu tidak menjawab. Mereka diam. Setelah beberapa saat, salah satu dari mereka menjawab.
“Kami adalah murid SMA sama seperti kalian.”
“Apa? Kalian dari SMA mana? Apa yang kalian lakukan di rumah itu dengan pakaian seperti itu?” Fandy mulai tidak sabar menghadapi ketiga orang misterius itu.
“Kami dari SMA 5. Kalian dari SMA mana?” suara salah satu dari ketiga orang misterius itu mulai tenang dan santai. “Dan berhentilah bersikap terlalu waspada seperti itu. Kita bukan musuh.” Sambungnya.
“Bagaimana kami bisa tahu bahwa kalian bukan musuh kami? Kalian berpakaian aneh dan tadi kalian mengejar kami!” jawab Rossy yang sejak tadi diam.
“Kami pikir kalian adalah pembunuh itu. Sejujurnya kami juga takut ketika mendengar suara bersin salah satu dari kalian. Kami sedang melakukan uji nyali di rumah itu. Sekaligus membuktikan cerita yang beredar di masyakat tentang harta yang tersembunyi di rumah itu. O, iya. Namaku Riko” jawab orang bersuara berat yang mengaku bernama Riko itu yang mungkin pemimpin dari kelompok itu.
“Aku Fandy. Kami juga punya tujuan yang sama dengan kalian. Ini teman-temanku. Dony, Mytha, dan Rossy.” Jawab Fandy mewakili teman-temannya.
“Aku Christ dan ini Zhee.” Jawab teman Riko itu. Mereka semua kemudian bersalaman, tanda persahabatan. “Kalian dari SMA mana?” Tanya Christ.
“Kami dari SMA 1. Kalian penggemar misteri ya?” Tanya Mytha, yang memang sangat menyukai misteri melebihi teman-temannya yang lain.
“Iya. Kami senang sekali misteri. Kami dari klub penggemar misteri di SMA 5 yang diketuai Kak Riko.” Kata Zhee semangat menjelaskan tentang keberadaan klub mereka.
“Wah, teman-teman, sepertinya sudah terlalu malam untuk kita yang masih SMA jika tetap berkeliaran. Sudah pukul 1 malam. Ayo kita pulang. Udaranya juga dingin sekali.” Rossy mengngatkan teman-temannya.
“Yah, Rossy. Kita kan baru kenalan.” Kata Zhee..
“Bagaimana kalau kita bertukar nomor handphone.” Kata Riko dan Fandy hampir bersamaan. Teman-teman yang lain tertawa karena kemiripan kedua remaja itu.
Setelah bertukar nomor handphone, ketujuh remaja itu berpisah. Namun, sebelumnya mereka berjanji akan bertemu di rumah itu satu minggu lagi pada jam 10 siang.
Mytha, Fandy, Rossy dan Dony pulang dengan wajah senang, karena mereka menemukan sebuah misteri lagi yang menarik untuk dipecahkan. Selain itu, mereka mendapat beberapa teman baru karena petualangan mereka malam itu.

Bagian kedua lihat disini
Bagian ketiga lihat disini

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲